• Meminta kepada Bapa

    Pengantar
    Di tengah-tengah zaman yang sangat mengandalkan kecanggihan dan kecepatan alat-alat teknologi serta terapan ilmu pengetahuan, seringkali timbul pertanyaan, yaitu: “apakah manusia modern masih membutuhkan doa untuk meminta sesuatu hal kepada Allah?” Pertanyaan tersebut muncul saat manusia semakin menyadari bahwa kecanggihan dan kecepatan alat-alat teknologi serta terapan ilmu pengetahuan dalam banyak segi mampu memenuhi sebagian besar kebutuhan manusia. Bahkan pemenuhan kebutuhan dari hasil teknologi dan ilmu pengetahuan tersebut umumnya lebih efektif dibandingkan dengan zaman purba. Apa yang dahulu tidak mungkin, kini telah dibuka kemungkinan-kemungkinan yang tanpa batas. Melalui media komunikasi yang tersedia, kita dapat menjelajah dan mengetahui apa yang sedang terjadi di berbagai belahan dunia dalam waktu yang sangat cepat. Melalui teknologi di berbagai bidang kehidupan seperti: medis, pertanian, peternakan, pengolahan makanan, elektronika dan transportasi – sepertinya telah mampu menjawab setiap kebutuhan manusia selama mereka memiliki dana yang dibutuhkanKonkretnya selama seseorang memiliki dana yang tak terbilang, maka mereka memiliki kemungkinan untuk memperoleh semua fasilitas tersebut. Dengan kondisi yang demikian, perlukah orang-orang modern yang demikian membutuhkan doa? Lebih tajam lagi, apakah kita masih membutuhkan Allah untuk menjawab berbagai persoalan dan kebutuhan-kebutuhan kita? Umumnya orang modern memberi jawaban yang simpatik secara religius, yaitu mereka pada hakikatnya masih membutuhkan Allah dan karena itu mereka tetap perlu berdoa. Yang mana kebutuhan akan Allah dan doa tersebut didasari oleh suatu pemahaman “teologis”, yaitu Allah dan doa diidentikkan dengan “persoalan-persoalan terakhir”. Maksudnya adalah bahwa walaupun ilmu pengetahuan dan teknologi berhasil mengatasi dan menjawab berbagai persoalan dan kebutuhan manusia, namun harus disadari ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut belum sepenuhnya menyelesaikan “persoalan-persoalan terakhir”. Dengan demikian, keberadaan Allah dan kuasa dosa disamakan dengan “hal-hal yang belum terselidiki oleh akal manusia”.

    Wilayah Allah Sedang Terancam?
    Menurut seorang teolog Jerman, yaitu Dietrich Bonhoeffer (1906-1945) pemahaman teologis tersebut di atas tidaklah tepat dari sudut pemahaman iman Kristen. Sebab bilamana keberadaan Allah dan doa yang dipanjatkan hanya ditempatkan sebagai “hal-hal yang belum terselidiki oleh akal manusia” maka keberadaan Allah dan doa pada hakikatnya lebih ditentukan oleh kemampuan dan kepandaian manusia. Bukankah akal manusia terus berkembang sehingga manusia mampu membuat suatu penelitian yang memungkinkan untuk menemukan hal-hal yang mustahil? Manusia zaman dahulu tidak pernah membayangkan bahwa kelak tercipta alat-alat seperti: radio, televisi dan internet yang akan mampu menyebarkan informasi dalam waktu yang begitu fantastis dan dapat diterima dalam waktu yang bersamaan. Juga orang-orang zaman Alkitab Perjanjian Lama tidak pernah terbayangkan melalui transportasi udara, manusia mampu menjelahi langit dan mencapai suatu benua lain dalam waktu yang begitu singkat. Sebab menurut keyakinan Israel, yang mampu menggunakan awan sebagai tempat kendaraan hanyalah Allah. Bandingkan Mzm. 68:5 yang berkata: “Bernyanyilah bagi Allah, mazmurkanlah nama-Nya, buatlah jalan bagi Dia yang berkendaraan melintasi awan-awan! Nama-Nya ialah TUHAN; beria-rialah di hadapan-Nya!”

    Selain itu manusia zaman dahulu tidak pernah membayangkan bahwa melalui tindak operasi atau bedah, manusia dapat memperbaiki dan mengganti organ tubuhnya yang rusak. Sehingga apabila Allah dan doa diidentikkan dengan “hal-hal yang belum terselidiki oleh akal manusia” berarti wilayah keberadaan Allah dan doa dari zaman ke zaman akan terus tergeser dan semakin “sempit”. Allah dan doa yang dipanjatkan suatu saat akan lenyap sebab pada masa mendatang manusia akan lebih mampu menemukan dan menjawab “hal-hal yang belum terselidiki oleh akal manusia”. Tepatnya pemikiran teologis yang berusaha “membela” keberadaan Allah tersebut, justru telah menempatkan Allah di tempat yang begitu rapuh dan berbahaya. Manusia dari zaman ke zaman akan terus mempersempit dan menggeser kedudukan Allah, sehingga suatu saat manusia tidak merasa perlu bersandar kepada Allah dan juga tidak membutuhkan doa. Lebih celaka lagi, jika kemudian orang-orang yang pandai dan kreatif untuk menciptakan berbagai penemuan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut justru dianggap sebagai kelompok yang melawan firman Allah. Para ilmuwan dan cendikiawan kemudian juga dicurigai sebagai kepanjangan dari kuasa dunia ini. Padahal dalam realitanya cukup banyak para ilmuwan dan cendikiawan tetap mengimani keberadaan Allah dan kuasa doa. Mereka menyadari bahwa kemampuan dan kecerdasan yang dimiliki merupakan suatu anugerah Allah. Karena itu mereka melakukan tugasnya sebagai wujud tanggungjawab moral dan ucapan syukur dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan umat manusia yang lebih baik.

    Allah Maha-hadir Dan Maha-tahu
    Iman Kristen menegaskan bahwa keberadaan dan hakikat Allah lebih luas dari pada suatu keberadaan ilahi yang terbatas pada “hal-hal yang belum terselidiki” oleh akal manusia. Keberadaan Allah lebih agung dari pada sekedar suatu keberadaan ilahi yang dibatasi oleh “persoalan-persoalan terakhir”. Sebab hakikat dan keberadaan Allah melampaui keberadaan suatu akal-budi dan jangkauan pengetahuan manusia. Dengan demikian keberadaan dan hakikat Allah bersifat otonom dan bebas. Karena itu Allah selalu maha-hadir (omnipresence). Tidak ada satu bagian dalam bumi dan alam semesta ini yang tidak dipenuhi oleh kehadiran Allah (bdk. Mzm. 139). Di Kis. 17:27 rasul Paulus menegaskan: “Sebab di dalam Dia kita hidup, kita bergerak, kita ada”. Allah hadir di setiap tempat dan obyek dengan energiNya. Sehingga Allah mengetahui dengan persis segala hal yang terjadi. Allah yang maha-hadir adalah juga Allah yang maha-tahu (omniscience). Dengan kemaha-tahuan Allah, maka tidak ada yang tersembunyi apakah isi pikiran, perasaan, pola hidup dan seluruh alam semesta ini.



    Walaupun demikian dalam kasus-kasus khusus, Allah juga berkenan menyatakan diri dengan hadir secara langsung untuk melihat situasi tersebut. Misal sikap Allah saat Dia akan merespon penderitaan umat Israel di tanah Mesir. Kel. 3:8 menyatakan: “Sebab itu Aku telah turun untuk melepaskan mereka dari tangan orang Mesir dan menuntun mereka keluar dari negeri itu ke suatu negeri yang baik dan luas, suatu negeri yang berlimpah-limpah susu dan madunya”. Kata “turun” berasal dari kata “yârad” (ירד (yang berarti: “go downwards” (turun ke bawah) untuk mengalami secara eksistensial situasi umat yang sedang menderita. Sangat menarik ternyata kata “yârad” (ירד ( juga dipergunakan di Kej. 18:21, yaitu: “Baiklah Aku turun untuk melihat, apakah benar-benar mereka telah berkelakuan seperti keluh kesah orang yang telah sampai kepada-Ku atau tidak; Aku hendak mengetahuinya." Dengan demikian iman Kristen menegaskan bahwa Allah yang maha-tahu, juga berkenan menyatakan diriNya secara khusus dalam peristiwa sejarah dengan hadir sebagai sosok pribadi untuk memahami dan merasakan secara empatis penderitaan yang dialami oleh umatNya. Keluh-kesah dan jeritan tangisan yang dinyatakan oleh umat Israel maupun orang-orang yang tertindas di kota Sodom dan Gomora didengar oleh Allah, sehingga Allah berkenan menghadirkan diriNya secara langsung dalam peristiwa kehidupan umat manusia. Yang mana kehadiran Allah secara khusus tersebut merupakan sikap dan jawaban Allah terhadap jeritan dan doa dari setiap umat yang lemah dan sedang tertindas.



    Dengan kesaksian Alkitab tersebut, kita juga memperoleh jaminan bahwa setiap jeritan penderitaan atas perlakuan sewenang-wenang yang terjadi juga akan mendapat respon dan pertolongan dari Allah. Allah peduli bukan hanya dengan manifestasi energiNya yang hadir di setiap tempat dan peristiwa (omnipresence), tetapi juga Dia menghadirkan diriNya dalam sejarah manusia secara langsung dan personal. Kemaha-tahuan yang dimiliki Allah tidak menghambat kehadiranNya secara personal untuk merasakan secara empatis penderitaan yang sedang dialami oleh umatNya. Apalagi melalui inkarnasi Kristus, Allah yang tak terbatas bersedia menjadi manusia sehingga Dia dapat mengalami penderitaan, kelemahan dan realitas dosa umat. Puncaknya melalui penderitaan dan kematian Kristus, Allah dapat merasakan secara eksistensial penderitaan dan kematian tragis manusia. Karena itu keberadaan Allah tidak ditentukan oleh sejauh mana kehebatan atau kecanggihan teknologi yang dikembangkan manusia untuk mengambil alih peran Allah. Sebaliknya keberadaan Allah tetap eksis dan mau peduli khususnya kepada umat yang mengasihi Dia. Di I Kor. 2:9 rasul Paulus berkata: "Apa yang tidak pernah dilihat oleh mata, dan tidak pernah didengar oleh telinga, dan yang tidak pernah timbul di dalam hati manusia: semua yang disediakan Allah untuk mereka yang mengasihi Dia". Dengan demikian melalui Kristus, Allah kini menghadirkan diriNya melalui Roh Kudus sehingga Dia dapat merasakan setiap jeritan, tangisan dan penderitaan setiap umat yang berseru kepadaNya. Allah yang transenden (melampaui segala hal), kini juga berkenan imanen (tinggal, diam) dalam kehidupan umat. Dengan makna “yârad”, Allah di dalam Kristus kini dipahami sebagai Allah yang berkenan menyertai umat senantiasa. Tidak ada seorangpun yang ditinggalkan dan diabaikan Allah, sehingga doa-doa kita terjamin untuk didengar dan dipedulikan oleh Allah.



    Allah Yang Maha-Rahim

    Penyataan Allah melalui ketiga orang yang mendatangi Abraham (Kej. 18:1-2) dengan tujuan untuk membinasakan kota Sodom dan Gomora memperlihatkan keseriusan atau kepedulian Allah terhadap jeritan, penderitaan dan permohonan orang-orang yang tertindas di sana. Karena doa-doa dan jeritan umat tertindas telah naik ke hadapanNya, Allah kemudian memutuskan untuk turun mendatangi kota Sodom dan Gomora. Dengan demikian kedatangan utusan Allah yang menyamar dalam wujud 3 orang bukan sekedar untuk mengetahui kondisi riel dari kota Sodom dan Gomora, tetapi juga untuk menghukum dan membinasakan. Namun apakah wujud hukuman Allah tersebut juga menimpa orang-orang yang hidup benar? Terhadap rencana hukuman Allah tersebut, Abraham memilih untuk memposisikan dirinya sebagai juru-syafaat. Pertama-tama Abraham bertanya apakah Allah akan menghukum sekiranya di kota Sodom dan Gomora terdapat 50 orang yang hidup benar? Abraham berdoa: “Bagaimana sekiranya ada lima puluh orang benar dalam kota itu? Apakah Engkau akan melenyapkan tempat itu dan tidakkah Engkau mengampuninya karena kelima puluh orang benar yang ada di dalamnya itu?” (Kej. 18:24). Ternyata Allah berjanji bahwa Dia tidak akan membinasakan seluruh kota Sodom dan Gomora jikalau Dia menjumpai 50 orang yang mampu hidup benar, yaitu: "Jika Kudapati lima puluh orang benar dalam kota Sodom, Aku akan mengampuni seluruh tempat itu karena mereka" (Kej. 18:26). Dengan gigih Abraham kemudian menyampaikan permohonan agar Allah tidak menghukum penduduk kota Sodom dan Gomora, yaitu jikalau ternyata hanya dijumpai 45 orang benar. Lalu Abraham terus mengurangi jumlah orang benar menjadi 40 orang, 30 orang, 20 orang dan 10 orang. Ternyata Allah tidak menjumpai 10 orang benar di kota Sodom dan Gomora. Tampaknya orang-orang benar telah dibunuh secara masal, sehingga yang tersisa tidak sampai 10 orang. Itu sebabnya Allah memutuskan untuk membinasakan seluruh penduduk kota Sodom dan Gomora dengan perkecualian keluarga Lot. Jadi hanya keluarga Lot saja yang dipandang layak untuk selamat dari hukuman Allah tersebut.

    Karakter Allah yang maha-rahim terlihat begitu nyata dalam doa syafaat Abraham. Allah berjanji untuk membatalkan vonis hukumanNya jikalau Dia menjumpai 50 orang yang mampu hidup benar. Bahkan Allah kemudian bersedia membatalkan vonis hukumanNya jika di kota Sodom dan Gomora hanya dijumpai 10 orang yang hidup benar. Di Kej. 18:32 menyaksikan sikap Allah yang maha-rahim tersebut, yaitu: "Janganlah kiranya Tuhan murka, kalau aku berkata lagi sekali ini saja. Sekiranya sepuluh didapati di sana?" Firman-Nya: "Aku tidak akan memusnahkannya karena yang sepuluh itu." Kerahiman Allah menempatkan diri Allah sebagai pribadi ilahi yang sering dianggap “tidak konsisten” dengan keputusanNya. Tepatnya keputusan atau vonis hukuman Allah ternyata masih dapat ditawar oleh umat. Dalam kasus ini Abraham telah menawar keputusan Allah sampai 6 kali, yaitu dari 50 orang benar, 45 orang benar, 40 orang benar, 30 orang benar, 20 orang benar dan 10 orang benar! Itu sebabnya mengapa Allah juga tidak jadi menghukum kota Niniwe setelah Dia mengetahui penduduk kota Niniwe bertobat. Jadi seandainya Allah kita selalu “konsisten” dengan keputusan dan ketentuan hukumNya, maka tidak ada seorangpun yang mampu selamat. Sebab siapakah yang mampu hidup benar di hadapanNya yang kudus dan adil?

    Kerahiman Allah Di Tengah-Tengah Dosa Struktural
    Apabila di kota Sodom dan Gomora saat itu tidak ditemukan 10 orang yang hidup benar, maka dapat dipastikan bahwa kota Sodom dan Gomora saat itu telah berada dalam suatu kekelaman dosa. Dosa yang dilakukan oleh para individu atau penduduk kota Sodom dan Gomora bukanlah sekedar suatu dosa personal, tetapi telah berubah menjadi suatu dosa struktural. Sebagai dosa struktural yang begitu kompleks, maka setiap orang atau penduduk kota Sodom dan Gomora telah terjebak dalam setiap perbuatan dosa dan kejahatan. Apabila di antara mereka, ada yang tidak mau melakukan dosa dan kejahatan tersebut, maka mereka justru akan dianggap aneh atau gila sehingga mereka akan dikucilkan dari pergaulan masyarakat. Tampaknya tidak ada seorangpun yang mampu bertahan dalam kondisi yang demikian kecuali keluarga Lot. Namun kemudian terbukti, bahwa keluarga Lot juga tidak mampu menghindar dari pola hidup dan nilai-nilai dosa yang biasa dilakukan oleh penduduk kota Sodom dan Gomora. Istri Lot pada akhirnya tetap mengutamakan harta-bendanya. Istri Lot tidak rela kehilangan harta miliknya sehingga dia melanggar nasihat melaikat Tuhan untuk tidak menengok ke belakang (Kej. 19:26). Juga kedua putri Lot yang memperdaya ayah mereka sehingga terjadi hubungan “incest” dengan tujuan agar kebutuhan biologis mereka terpenuhi (Kej. 19:30-38). Namun terbukti Allah masih berkenan memelihara Lot dan kedua putri serta anak-anak haram yang dikandung oleh kedua putrinya. Bukankah kita pada masa kini juga hidup dalam dosa struktural seperti yang terjadi di kota Sodom dan Gomora, sehingga tidak ada seorangpun yang hidup benar? Namun karena kerahiman Allah, kita masih diberi anugerah keselamatan. Yang mana kerahiman Allah tersebut bukan karena Allah telah menemukan sekian puluh orang yang mampu hidup benar di hadapanNya, tetapi karena Allah telah menemukan satu orang yang hidup benar tanpa cela, yaitu manusia Yesus Kristus. Melalui karya penebusan Kristus, Allah telah menghapus surat hutang dan dakwaan terhadap diri kita. Dengan tepat rasul Paulus menyatakan rahmat Allah tersebut di Kol. 2:13-14, yaitu: “Kamu juga, meskipun dahulu mati oleh pelanggaranmu dan oleh karena tidak disunat secara lahiriah, telah dihidupkan Allah bersama-sama dengan Dia, sesudah Ia mengampuni segala pelanggaran kita, dengan menghapuskan surat hutang, yang oleh ketentuan-ketentuan hukum mendakwa dan mengancam kita. Dan itu ditiadakan-Nya dengan memakukannya pada kayu salib”. Kerahiman Allah dinyatakan dengan pengorbanan Kristus di atas kayu salib, sehingga hutang-hutang dosa kita telah dibayar lunas.

    Namun pembayaran hutang dosa melalui karya penebusan Kristus tersebut sering dipahami sebagai suatu kondisi di mana kita merasa tidak perlu lagi menanggung tanggungjawab atas dosa-dosa yang diperbuat. Kerahiman kasih Allah yang membebaskan diri kita dari dakwaan hukuman dosa sering dijadikan alat pembenaran untuk melakukan dosa-dosa yang baru. Padahal kerahiman kasih Allah dikaruniakan kepada kita agar kita mau menanggalkan kehidupan yang lama dan mengenakan kehidupan yang baru di dalam Kristus. Kerahiman Allah di dalam karya keselamatan Kristus bertujuan untuk memampukan kita menyunatkan pola-pola dan sistem duniawi yang telah membelenggu kehidupan kita. Di Kol. 2:11 rasul Paulus berkata: “Dalam Dia kamu telah disunat, bukan dengan sunat yang dilakukan oleh manusia, tetapi dengan sunat Kristus, yang terdiri dari penanggalan akan tubuh yang berdosa”. Dengan demikian sifat dari kerahiman Allah di dalam karya penebusan Kristus bersifat transformatif. Doa permohonan yang kita panjatkan kepada Allah seharusnya suatu doa yang bertujuan untuk mengubah seluruh azas kehidupan kita, sehingga kehidupan kita selalu berakar di dalam Kristus dan dibangun di atas Kristus (Kol. 2:7). Namun dalam kehidupan sehari-hari makna kerahiman kasih Allah tersebut kita selewengkan untuk kepentingan pribadi kita. Sehingga doa-doa yang kita panjatkan justru jauh dari upaya yang bersengaja untuk mengalami pembaruan hidup. Karena itu ungkapan “prayer changes things” (doa mengubah segala hal) bukanlah ungkapan yang tepat menurut iman Kristen. Seharusnya doa yang transformatif adalah doa yang bertujuan untuk mengubah diri sendiri. Doa dalam iman Kristen seharusnya dihayati sebagai: “prayer changes us” (doa mengubah diri kita). Ketika kita mampu mengubah diri sendiri, maka kita juga dimampukan untuk membawa perubahan kepada sesama di sekitar kita. Untuk itu doa yang transformatif perlu dinaikkan tanpa jemu dalam perjalanan/ziarah iman kita.

    Perlu Meminta Tanpa Jemu
    Ketika para murid meminta Tuhan Yesus untuk mengajar mereka berdoa, maka di Luk. 11:2-4, Tuhan Yesus mengajar doa yang kemudian dikenal dengan doa “Bapa Kami”. Yang mana rangkaian doa “Bapa Kami tersebut ditempatkan dalam kerangka perumpamaan Tuhan Yesus tentang seorang yang tengah malam kedatangan tamu dan dia tidak memiliki sepotong roti yang dapat dihidangkan kepada tamunya. Sehingga dia mendatangi tetangganya yang sedang tidur bersama dengan anak-anaknya. Sebenarnya tetangganya tersebut menolak bangun dan memberi bantuan. Tetapi karena orang tersebut tidak merasa malu untuk memperoleh kemurahan, maka tetangganya tersebut akhirnya bangun dan memberi bantuan. Makna perumpamaan Tuhan Yesus tersebut pada hakikatnya mau menyatakan bahwa fokus utama dari para tokoh dalam perumpamaan tersebut adalah tetangga yang semula enggan tetapi kemudian dia berkenan untuk menolong si pemohon. Tetangga tersebut merupakan gambaran diri Allah yang berbelas-kasihan, yang mana belas-kasihan atau kerahiman Allah tersebut dapat disentuh oleh sikap manusia yang tidak merasa malu untuk memohon kepadaNya. Itu sebabnya Tuhan Yesus berkata: “Sekalipun ia tidak mau bangun dan memberikannya kepadanya karena orang itu adalah sahabatnya, namun karena sikapnya yang tidak malu itu, ia akan bangun juga dan memberikan kepadanya apa yang diperlukannya” (Luk. 11:8). Dengan demikian, Tuhan Yesus mengajarkan agar kita selaku umat percaya mau bersikap rendah-hati dan tanpa pernah merasa malu untuk memohon sesuatu yang benar kepada Allah. Sesuatu yang benar itu tercermin dalam prinsip-prinsip doa sebagaimana yang telah diajarkan dalam doa “Bapa Kami”. Sebab yang utama dalam doa “Bapa Kami” adalah bagaimana umat selalu mempermuliakan atau menguduskan nama Allah dalam kehidupan sehari-hari. Artinya prinsip doa “Bapa Kami” bukanlah menekankan kepada hak-hak manusia untuk memperoleh setiap kebutuhannya, tetapi bagaimana manusia menyikapi kebutuhannya berdasarkan kepada prinsip iman yang mempermuliakan Allah. Jika prinsip ini yang terjadi, maka tidak ada yang tidak mungkin dengan Allah (nothing will be imposible with God). Jika kita mampu mempermuliakan Allah di atas seluruh kebutuhan manusiawi kita, maka kita akan dimampukan untuk memperoleh kebutuhan yang membawa keselamatan dan damai-sejahtera.

    Karena itu hakikat doa bukanlah untuk meminta kepada Allah berbagai hal yang tidak dapat dilakukan oleh teknologi, ilmu pengetahuan dan kepandaian manusia. Tetapi kita meminta kepada Allah untuk lebih dimampukan menyadari keterbasan kemanusiaan kita (an awareness of our human limitations). Dengan sikap doa yang demikian, kita telah menjadikan doa sebagai jangkar dalam kehidupan kita karena kita bersedia mengikatkan diri secara kokoh kepada Allah yang sedang memproses hidup kita. Semakin kita tiada jemu dan tidak merasa malu berdoa kepada Allah dengan kesungguhan hati, maka sesungguhnya kita sedang mengolah hati dan roh kita seperti seorang petani yang berulang-ulang mengolah tanah di sawahnya sehingga tanah tersebut siap untuk ditanami. Itu sebabnya setelah bagian doa yang menyatakan: “Bapa, dikuduskanlah nama-Mu; datanglah Kerajaan-Mu” kemudian dilanjutkan dengan permohonan: “Berikanlah kami setiap hari makanan kami yang secukupnya” (Luk. 11:3).

    Panggilan
    Semakin kita mengenal Allah di dalam Kristus, semakin kita disadarkan akan kemurahan dan kerahiman Allah. Sehingga kita dimampukan untuk mengenal Dia sebagai seorang Bapa yang memperlakukan diri kita sebagai anak-anakNya. Dengan demikian kita mencari Dia bukan karena kita tidak memperoleh apa yang belum dipikirkan oleh manusia dengan teknologi dan ilmu pengetahuan. Tetapi kita mencari dan memohon kepada Allah, karena Dia adalah Bapa kita. Melalui karya dan hidup Kristus, kita telah dijadikan sebagai anak-anak Allah. Kita juga dipanggil meminta dalam doa kepada Allah, karena Allah adalah satu-satunya sumber hikmat, pengetahuan, keselamatan, damai-sejahtera dan kebenaran sehingga seluruh hasil ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan wujud dari kasih-karuniaNya. Dengan sikap demikian kita tidak pernah terpancang kepada prestasi atau hasil-hasil yang dicapai oleh manusia, tetapi yang utama adalah bagaimana kita mempermuliakan Allah dengan seluruh aspek kehidupan kita. Selama kita belum memiliki pola spiritualitas yang baru, maka seluruh hasil yang pernah dicapai atau berbagai fasilitas yang tersedia akan menempatkan diri kita seperti orang-orang Sodom dan Gomora. Kita akan menggunakan berbagai fasilitas, peralatan teknologi dan tawaran dunia ini untuk memuaskan hawa-nafsu kita.

    Karena itu sifat permohonan doa kita haruslah suatu permohonan yang transformatif, yaitu kerinduan yang terus-menerus untuk mengubah dan membarui hidup kita. Permohonan kita kepada Allah bukanlah seberapa banyak berkat atau rezeki yang kita butuhkan, tetapi seberapa besar komitmen kita untuk mempermuliakan namaNya. Dengan demikian tujuan utama dari doa adalah menempatkannya sebagai jangkar yang kokoh untuk melabuhkan hidup kita dalam kendali tangan Allah. Bagaimanakah sikap saudara dalam relasi dengan Allah? Apakah kita memperlakukan Allah sebagai obyek untuk memuaskan berbagai keinginan dan kebutuhan kita? Ataukah kita memperlakukan Allah sebagai Bapa yang mengasihi kita dengan kerahimanNya yang melampaui seluruh akal dan pengetahuan kita? Amin.



    Pdt. Yohanes Bambang Mulyono
    www.yohanesbm.com

0 komentar: